Tangisan dari Dapur Kosong

0 0
Read Time:1 Minute, 56 Second

Tangisan dari Dapur Kosong – Malam itu hujan turun deras. Rani baru pulang kerja, sendirian di rumah kontrakan kecilnya. Jam menunjukkan pukul 01:23 dini hari. Lelah, ia langsung menuju kamar tanpa makan malam.

Namun, saat hampir terlelap, ia mendengar suara… piring berjatuhan dari dapur.
“Pasti kucing,” pikirnya. Tapi semakin lama, suara itu berubah jadi tangisan lirih bayi.

Rani gemetar. Ia tahu rumah kontrakannya pernah kosong lama, katanya dulu ditempati sepasang suami-istri yang bayinya meninggal saat lahir.

Tangisan itu semakin jelas. Dari balik pintu kamarnya, ia melihat cahaya samar lilin di dapur. Dengan kaki gemetar, ia melangkah perlahan.

Saat pintu dapur terbuka, ia terhenti.

Di lantai, piring-piring berlumuran darah, dan di pojokan dapur, duduk seorang perempuan berambut panjang kusut, mengguncang-guncang sesuatu di pelukannya.
Bukan bayi… tapi bantal kecil berlumur darah.

Perempuan itu menoleh perlahan. Senyumnya merekah, memperlihatkan gigi hitam dan darah menetes.
“Aku… sudah bisa menidurkannya sekarang… mau ikut, Mbak…?”

Rani menjerit, tapi suara tangis bayi justru makin keras, memenuhi seluruh rumah.
Rani jatuh terduduk. Kakinya lemas, tapi entah kenapa matanya tak bisa berpaling dari sosok perempuan itu.
Perempuan bergaun putih kusam itu mendekat, menyeret bantal berlumuran darah. Bau anyir menyengat menusuk hidung.

“Dia menangis kalau nggak ada yang gendong…” bisiknya pelan.
Tangisan bayi terdengar makin dekat—padahal jelas-jelas tak ada bayi di sana.

Rani mencoba merangkak mundur, tangannya mencari-cari gagang pintu. Namun saat berhasil menyentuhnya, pintu kamar justru terhempas menutup sendiri dengan keras.

Gelap. Sunyi. Lalu…

Di telinganya, terdengar suara bayi menangis begitu dekat. Sangat dekat.
Rani menoleh pelan… bantal itu kini ada di pangkuannya sendiri.

Matanya membesar—karena bantal itu bergerak. Perlahan, dari dalamnya muncul tangan mungil pucat yang berlumuran darah, mencakar-cakar kain bantal, seolah ingin keluar.

Rani menjerit sekuat tenaga, tapi suaranya seperti tertelan. Perempuan berambut panjang itu kini berdiri tepat di hadapannya, wajahnya dekat sekali, matanya kosong.
“Akhirnya ada yang mau jadi ibunya… Sekarang giliranmu menemaninya…”

Rani meronta, mencoba melepaskan bantal itu, tapi semakin kuat ia melawan, semakin erat tangannya mencengkeram sendiri, seakan dipaksa memeluknya.
Tangisan bayi berubah jadi jeritan nyaring, menusuk telinga, hingga semua lampu rumah padam.


Keesokan paginya, tetangga curiga karena Rani tidak berangkat kerja. Saat pintu didobrak, mereka menemukannya tertidur di dapur, memeluk bantal kecil yang kini kosong dan kotor berlumuran darah kering.
Di dinding dapur, ada tulisan dengan darah:

“Ibu sudah pulang.”

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %