Suara dari Loteng – Hujan turun deras malam itu, membasahi atap rumah tua yang sudah lama tak berpenghuni. Rumah itu berdiri di ujung desa, dikenal sebagai Rumah Sukma, tempat yang dihindari warga setempat. Banyak cerita beredar—mulai dari penampakan sosok perempuan berambut panjang, suara tangisan bayi di tengah malam, hingga bau anyir darah yang terkadang tercium dari dalam rumah.
Namun bagi Reza, seorang mahasiswa jurusan arkeologi, rumah itu adalah tantangan. Ia ingin membuktikan bahwa semua cerita tersebut hanyalah takhayul. Dengan modal kamera, senter, dan buku catatan, ia memutuskan untuk menginap di rumah itu semalam penuh.
“Aku akan buktikan ke kalian semua kalau hantu itu nggak ada!”
Reza berkata dengan yakin saat pamit pada teman-temannya di kampus.
Malam Pertama
Reza tiba di rumah itu menjelang pukul 10 malam. Angin dingin menusuk tulang, dan pepohonan di sekitar rumah bergoyang seperti tangan yang mencoba meraih mangsanya. Pintu depan berderit keras saat ia dorong, seakan menjerit memprotes kedatangannya.
Begitu masuk, bau lembap dan kayu lapuk langsung menyeruak. Debu tebal menutupi perabotan yang sudah tua. Ia menyalakan senter, lalu mulai menjelajahi tiap ruangan sambil mendokumentasikan dengan kameranya.
Di ruang tamu, ia melihat foto keluarga yang sudah pudar tergantung miring di dinding. Wajah-wajah di foto itu tampak samar, namun ada sesuatu yang aneh—seorang wanita di ujung foto tampak seperti tidak memiliki mata, hanya rongga gelap yang kosong.
Reza menelan ludah.
“Efek foto lama, mungkin,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri.
Ia kemudian menemukan tangga menuju loteng. Tangga kayu itu tampak rapuh, tetapi rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Saat kaki Reza menginjak anak tangga pertama, terdengar bunyi berderit panjang, seperti keluhan seseorang yang terbangun dari tidur panjang.
Suara dari Loteng
Loteng itu gelap pekat. Udara terasa lebih dingin di sana, dan aroma anyir mulai terasa. Reza mengarahkan senter ke sekeliling, menemukan tumpukan barang lama: boneka tanpa mata, kursi goyang berdebu, dan koper tua yang hampir hancur dimakan rayap.
Ketika ia mendekat untuk memeriksa boneka itu, kursi goyang tiba-tiba bergerak sendiri, pelan namun jelas. Reza mundur beberapa langkah dengan jantung berdegup kencang.
“Mungkin angin,” katanya lirih, meskipun semua jendela tertutup rapat.
Lalu terdengar suara lirih, seperti bisikan seorang perempuan:
“Pergi…”
Reza memutar badan cepat, namun tak ada siapa pun di sana. Ia mulai panik, tetapi rasa penasaran membuatnya bertahan. Ia mengeluarkan kamera dan merekam setiap sudut ruangan.
Saat merekam, lensa kameranya menangkap bayangan hitam yang berdiri di sudut loteng. Wujud itu tinggi, kurus, dan rambutnya terurai panjang menutupi wajah. Ketika Reza memandang dengan mata telanjang, bayangan itu lenyap.
“Apa itu…?” Reza berbisik, tubuhnya mulai gemetar.
Penemuan di Koper Tua
Di pojok ruangan, ia melihat koper yang tampak berbeda dari yang lain. Dengan tangan bergetar, ia membuka koper itu. Bau busuk menyengat seketika memenuhi udara. Di dalamnya terdapat gaun putih bernoda darah, beberapa foto keluarga yang sobek, dan seikat rambut manusia yang masih basah.
Saat ia mengangkat gaun itu, sebuah foto jatuh ke lantai. Dalam foto tersebut tampak wanita tanpa mata yang tadi ia lihat di ruang tamu—kali ini jelas memegang bayi yang menangis.
Tiba-tiba dari bawah loteng terdengar suara tangisan bayi, jelas dan nyata. Tangis itu semakin lama semakin keras, bercampur dengan suara langkah kaki yang berlari di lantai bawah.
Reza terdiam, tubuhnya kaku seperti batu. Ia tahu ia datang seorang diri.
Kejaran di Rumah Tua
Panik, Reza memutuskan untuk turun dan keluar dari rumah. Namun begitu kakinya menginjak lantai pertama, ia melihat bayi duduk di tengah ruang tamu, menatapnya dengan mata kosong. Di belakang bayi, berdiri sosok wanita bergaun putih yang wajahnya rusak dan tanpa mata.
“Kau… tidak seharusnya ada di sini…”
Suaranya bergema, dalam dan menyeramkan. Wanita itu mulai melayang mendekat. Reza berlari menuju pintu keluar, namun pintu itu tertutup rapat, seolah tak ingin ia pergi. Ia mencoba memecahkan jendela, tetapi kaca seakan menjadi besi yang tak bisa ditembus.
Lampu senter mati mendadak. Dalam kegelapan, ia hanya bisa mendengar napas berat tepat di belakangnya. Ketika ia menoleh, wajah tanpa mata itu hanya berjarak beberapa sentimeter darinya.
Reza berteriak sekeras-kerasnya.
Epilog
Keesokan paginya, warga desa menemukan pintu rumah terbuka lebar. Kamera milik Reza tergeletak di lantai. Di dalam kamera, terdapat rekaman terakhir: video yang memperlihatkan Reza ketakutan, berlari sambil menoleh ke belakang, lalu tiba-tiba kamera jatuh dan gambar terakhir yang terekam adalah wajah wanita tanpa mata yang tersenyum mengerikan.
Tubuh Reza tidak pernah ditemukan.
Sejak saat itu, setiap malam hujan, warga desa sering mendengar tangisan bayi dan suara kursi goyang dari dalam rumah tersebut. Tidak ada yang berani mendekat lagi.
Pesan
Legenda Rumah Sukma menjadi peringatan bagi siapa saja yang terlalu berani menantang hal-hal yang tak terlihat.
Terkadang, yang tak kasat mata hanya ingin dibiarkan sendiri, dan jika diganggu, mereka akan mengambil sesuatu sebagai ganti. 🌑