Kutukan Pocong Beringin: Arwah yang Terjebak Ikatan Kafan

0 0
Read Time:5 Minute, 10 Second

Kutukan Pocong Beringin – Di sebuah desa yang jauh dari keramaian kota, tersembunyi sebuah kuburan tua di pinggir hutan bambu. Kuburan itu dikelilingi pohon-pohon tinggi yang rimbun, dan di tengahnya berdiri pohon beringin besar dengan akar yang menjuntai seperti tirai hitam di malam hari. Batu-batu nisan di sana banyak yang sudah retak, ditumbuhi lumut tebal, dan sebagian tertutup tanah. Warga desa sudah lama tidak berani mendekati tempat itu, terutama saat malam tiba.

Orang-orang percaya ada arwah gentayangan yang menguasai area tersebut. Sosok yang paling sering disebut adalah pocong beringin, hantu dengan tubuh terikat kain kafan yang sering terlihat melompat-lompat di antara nisan. Konon, ia adalah arwah seorang lelaki miskin yang mati tanpa ada keluarga yang merawat jenazahnya. Kain kafannya diikat terburu-buru, dan ikatannya tidak pernah dilepas. Sejak hari pemakaman itu, orang-orang mulai melihat sosok putih yang meloncat-loncat, menatap kosong dengan mata hitam, sambil menyebarkan bau busuk yang menusuk.

Namun bagi tiga pemuda desa—Jaka, Reza, dan Andi—cerita itu hanyalah dongeng basi. Mereka sering menertawakan orang-orang tua yang menakut-nakuti anak-anak dengan kisah pocong. Pada suatu malam purnama, ketika bulan menggantung bulat sempurna di langit, Jaka mengajak kedua temannya untuk membuktikan bahwa semua itu bohong.

“Kita bawa senter, duduk di sana sebentar, terus pulang. Besok biar kita kasih lihat ke orang-orang kalau pocong itu nggak ada,” kata Jaka dengan penuh keyakinan.

Reza sempat ragu, Andi bahkan sudah merasa tidak enak sejak mendengar ajakan itu. Tapi rasa penasaran mereka akhirnya mengalahkan ketakutan. Mereka bertiga berangkat lewat jalan setapak yang diapit sawah luas. Suara kodok bersahutan di pematang, angin malam membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Semakin dekat ke kuburan, suasana semakin sepi, seakan seluruh alam mendiamkan langkah mereka.

Ketika tiba di bawah beringin, udara mendadak begitu berat. Senter yang mereka bawa berkedip-kedip, lalu meredup. Daun-daun bambu bergesekan, menimbulkan suara seperti bisikan halus. Mereka duduk di atas nisan tua, mencoba bercanda untuk mengusir rasa takut.

Namun beberapa menit kemudian, terdengar suara dari kejauhan. Duk… duk… duk… Suara berat seperti sesuatu yang meloncat menghantam tanah. Semakin lama, suara itu semakin dekat, teratur, dan pelan-pelan terdengar jelas.

Andi menggenggam lengan Reza, wajahnya pucat. “Jak… itu apa?” bisiknya lirih.
“Paling batu jatuh…” jawab Jaka terbata, meski suaranya bergetar.

Tapi tiba-tiba, dari balik batang bambu yang rimbun, muncullah sosok putih. Tubuhnya kaku, terikat kain kafan yang sudah kusam penuh tanah. Matanya kosong, wajahnya pucat dan membusuk, seolah baru saja keluar dari liang. Bau busuk begitu menyengat, menusuk hidung hingga membuat perut mual. Sosok itu melompat sekali, lalu dua kali, semakin dekat dengan mereka.

Andi langsung menjerit dan kabur tanpa pikir panjang. Reza yang ingin ikut lari merasa kakinya berat, seperti ada yang menahan dari bawah tanah. Jaka berdiri terpaku, wajahnya menegang, tidak bisa mengalihkan pandangan dari pocong itu.

Sosok pocong berhenti tepat di depannya. Dari balik kain kafan yang mengikat mulutnya, terdengar suara lirih, serak, dan penuh penderitaan:
“…bukaaaaaaan… ikaaaat…aaaan…”

Suara itu menggema, seakan langsung masuk ke telinga mereka. Mata Jaka melebar, tubuhnya gemetar hebat, lalu tiba-tiba matanya menjadi kosong. Reza menjerit dan dengan sekuat tenaga memaksa dirinya lari, meninggalkan sahabatnya. Di belakang, suara loncatan pocong terus terdengar, seakan mengikuti dari dekat.

Esok harinya, Jaka tidak pernah kembali. Orang-orang hanya menemukan sepasang sandalnya di dekat nisan beringin, berlumuran tanah merah basah. Desa geger. Orang tua langsung melarang semua anak muda keluar malam. Namun sejak itu, Reza mulai diganggu.

Setiap malam, ia mendengar suara loncatan di halaman rumahnya. Kadang terdengar ketukan keras di pintu. Pernah suatu malam, ia terbangun karena merasa ada yang mengintip dari jendela. Saat menoleh, ia melihat wajah pucat dengan mata kosong menempel di kaca, napasnya berembun di permukaan. Bau busuk memenuhi kamarnya. Suara itu kembali terdengar, lirih dan serak:
“…bukaaaaaaan… ikaaaat…aaaan…”

Reza berteriak keras hingga ibunya masuk ke kamar, tapi ketika pintu dibuka, sosok itu sudah menghilang. Hanya tersisa tanah basah tercecer di lantai dekat jendela.

Andi pun tidak luput. Beberapa kali ia mendengar suara yang sama ketika hendak tidur. Bahkan suatu kali, ia bermimpi bertemu Jaka. Dalam mimpi itu, Jaka berdiri dengan mata kosong, kain kafan masih melilit tubuhnya, dan dengan suara yang bukan suaranya, ia berkata:
“Dia marah… kau harus membebaskannya…”

Mimpi itu berulang beberapa kali hingga membuat Andi takut tidur.

Akhirnya, Reza dan Andi mendatangi seorang kiai tua bernama Kiai Mahmud. Dengan tenang, kiai itu mendengarkan cerita mereka. Ia kemudian berkata, “Arwah itu terjebak karena ikatan kafannya tidak pernah dilepaskan. Ia gentayangan, minta dibebaskan. Tapi selama ada yang menantangnya, ia akan menuntut jiwa pengganti.”

Dengan doa dan keberanian, mereka bertiga—Reza, Andi, dan Kiai Mahmud—kembali ke kuburan beringin pada tengah malam. Angin malam begitu dingin, bulan pucat menyinari nisan, dan suasana begitu sunyi seolah dunia berhenti bernafas. Kiai Mahmud menyalakan dupa, membaca doa-doa, dan tiba-tiba tanah di dekat nisan berguncang pelan. Sosok pocong itu muncul lagi, melompat-lompat dengan gerakan kaku. Bau busuk makin tajam, suaranya lirih penuh rintihan:
“…bukaaaaaaan… ikaaaat…aaaan…”

Reza terjatuh ke tanah, tubuhnya kejang-kejang, matanya mulai kosong, seolah arwahnya ditarik keluar. Andi, meski gemetar, maju mendekati pocong itu. Tangannya kaku dingin saat menyentuh kain kafan yang lembab oleh tanah. Pocong itu bergetar keras, wajahnya mendekat, napas busuknya terasa di wajah Andi. Dengan terisak, Andi menarik simpul kain kafan di kepala pocong.

Simpul itu akhirnya terlepas. Seketika, terdengar jeritan panjang yang menusuk malam. Suara itu menggema, membuat daun bambu bergetar, burung-burung terbang ketakutan. Tubuh pocong itu runtuh perlahan, lalu hancur menjadi abu yang terbawa angin.

Reza berhenti kejang, tubuhnya lemas, matanya kembali normal. Hawa dingin hilang perlahan, suasana makam kembali tenang. Namun, Jaka tidak pernah kembali. Seminggu kemudian, Andi bermimpi lagi. Dalam mimpi itu, Jaka datang dengan wajah tenang, tidak lagi terikat kain kafan. Ia tersenyum dan berbisik lirih:
“Terima kasih… aku sudah bebas.”

Setelah itu, ia menghilang.

Sejak malam itu, kuburan beringin tidak lagi menakutkan. Orang-orang bisa lewat tanpa diganggu. Tapi bagi Reza dan Andi, malam itu adalah mimpi buruk yang tak pernah hilang dari ingatan. Mereka sadar, pocong bukan sekadar hantu yang menyeramkan, melainkan jiwa yang terikat, terjebak antara dunia dan kematian. Dan selama ada manusia yang dikubur tanpa dilepas ikatannya, selalu ada kemungkinan arwah itu bangkit, mencari pengganti, menuntut agar ada yang membebaskannya.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %