Kereta Terakhir ke Stasiun Senyap

0 0
Read Time:2 Minute, 11 Second

Kereta Terakhir ke Stasiun Senyap – Malam itu, Hendra baru pulang lembur. Jam tangannya menunjukkan pukul 23:58, dan ia masih berdiri di peron stasiun kecil di pinggiran kota. Udara dingin menusuk tulang, dan stasiun itu tampak sepi sekali.

Namun, anehnya, pengeras suara stasiun tiba-tiba berbunyi:
“Perhatian, kereta terakhir akan segera tiba di jalur 3. Tujuan… Stasiun Senyap.”

Hendra mengernyit. Ia tidak pernah mendengar nama stasiun itu. Tapi entah mengapa, rasa lelah membuatnya tak peduli. Ia hanya ingin cepat sampai rumah.

Kereta datang meluncur dengan suara derit besi yang menyeramkan. Lampunya redup, dan gerbongnya tampak tua—seperti kereta zaman dulu. Pintu terbuka dengan suara mendecit. Di dalamnya, hanya ada beberapa penumpang, semuanya duduk diam, wajah mereka pucat dan tak bergerak.

Hendra duduk di bangku kosong. Tapi begitu ia melirik ke kiri, ia sadar—semua penumpang menatap lurus ke depan tanpa berkedip.

Kereta berjalan perlahan, menembus kegelapan. Di luar jendela, bukan lagi kota, melainkan hutan gelap yang tak berujung. Sesekali Hendra melihat bayangan orang berlari di antara pepohonan, tapi mereka bergerak terlalu cepat, tak wajar.

Seorang kondektur lewat. Bajunya lusuh, topinya menutupi sebagian wajah. Ia berhenti di depan Hendra dan berkata dengan suara serak:
“Masih hidup, ya? Tiketnya… pasti belum ada.”

Hendra panik. Ia mengeluarkan dompet, uang, kartu, apapun—tapi kondektur itu hanya tertawa pelan.
“Di kereta ini, bayarnya bukan dengan uang… tapi dengan ingatan terakhir sebelum mati.”

Seketika, Hendra merasa kepalanya berdenyut. Kenangan masa kecilnya, wajah ibunya, suara tawa teman-temannya—semua seperti ditarik keluar paksa. Ia berteriak, tapi penumpang lain hanya duduk kaku, mulut mereka mulai menganga. Dari mulut itu, asap hitam keluar, melayang menuju kondektur.

“Stasiun berikutnya… Senyap.”

Suara pengeras kereta menggema.

Hendra nekat berdiri dan mencoba membuka pintu kereta. Tapi pintunya terkunci rapat. Dari kaca, ia melihat bayangan sosok perempuan berambut panjang berdiri di luar gerbong, mengikuti laju kereta sambil tersenyum.

Tiba-tiba, lampu di gerbong padam. Saat menyala kembali, semua penumpang sudah hilang.
Hanya ada Hendra… dan kondektur yang kini duduk tepat di depannya, menatap dengan mata hitam kosong.

“Kau sudah ikut naik, jadi tak bisa turun. Selamat datang di perjalanan terakhir.”

Kereta berhenti mendadak. Pintu terbuka. Hendra melihat papan nama stasiun yang berkarat:

STASIUN SENYAP

Tak ada orang. Hanya deretan kursi kosong, kabut tebal, dan suara tangisan samar yang entah dari mana.

Langkah Hendra berat saat ia dipaksa turun. Begitu kakinya menginjak peron, kereta menghilang begitu saja, lenyap dalam kabut.
Hendra sendirian.

Tapi tidak lama.

Dari kabut itu, muncul penumpang-penumpang tadi… wajah mereka pucat, mulut sobek, mata kosong, berjalan lambat mengelilinginya. Dan dari pengeras suara tua stasiun, terdengar suara dingin:

“Kereta berikutnya segera tiba. Satu penumpang baru… sudah bergabung.”

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %