Lorong Kos Tua di Malam Jumat – Hujan deras baru saja reda. Malam itu, Dimas baru pulang dari lembur. Jalanan sepi, hanya sesekali terdengar suara motor melintas. Ia tinggal di sebuah kos lama di pinggiran kota, bangunannya besar dengan lorong panjang yang dipenuhi pintu-pintu kamar. Banyak penghuni sudah tidur, hanya lampu redup di lorong yang menemani langkahnya.
Dimas berjalan pelan, menyeret tas kerja. Dari ujung lorong, ia merasa seperti ada yang mengikuti langkahnya. Tok… tok… tok… suara sandal basah terdengar di belakang. Dimas menoleh. Kosong. Hanya lorong gelap dengan cat dinding yang sudah mengelupas.
“Ah, mungkin halusinasi, capek kali,” gumamnya.
Namun saat ia melanjutkan langkah, suara itu kembali muncul. Kali ini lebih dekat. Tok… tok… tok…
Jantung Dimas mulai berdegup cepat. Ia mempercepat langkah menuju kamarnya. Baru saja sampai di depan pintu, ia mendengar seseorang berbisik tepat di telinganya:
“Jangan masuk dulu…”
Dimas kaget, menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa. Tubuhnya merinding hebat. Dengan tergesa ia membuka pintu kamar dan masuk. Setelah pintu tertutup, ia menghela napas lega.
Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama. Dari jendela kamarnya yang menghadap ke lorong, Dimas melihat sesuatu. Bayangan putih berdiri di ujung lorong, rambutnya panjang menutupi wajah, bajunya basah kuyup meneteskan air. Sosok itu diam saja, hanya menatap ke arahnya.
Dimas menutup tirai, mencoba mengabaikan. Ia berbaring di ranjang, menutupi tubuh dengan selimut. Tapi tiba-tiba, terdengar suara ketukan di pintunya. Tok… tok… tok…
“Mas… bukain… aku kedinginan…” suara perempuan lirih terdengar.
Dimas membeku. Suara itu asing, bukan suara penghuni kos yang ia kenal.
Ketukan itu semakin keras. TOK! TOK! TOK!
“Mas… bukain… aku di sini…”
Dengan tangan gemetar, Dimas mengintip lewat lubang pintu. Tidak ada siapa-siapa. Hanya lorong kosong.
Namun saat ia menoleh ke belakang, jantungnya hampir berhenti. Dari dalam kamarnya sendiri, di sudut gelap dekat lemari, sosok perempuan berambut panjang berdiri, tubuhnya basah kuyup, wajahnya pucat tanpa mata, hanya rongga hitam menganga.
“Kenapa kau tutup pintunya… aku kan sudah masuk…” bisiknya.
Lampu kamar tiba-tiba padam.
Esok paginya, penghuni kos menemukan pintu kamar Dimas terbuka lebar. Di dalamnya, ranjangnya kosong. Hanya lantai basah berjejak kaki kecil, menuju ke luar lorong.
Dan sejak malam itu, penghuni kos lain sering mendengar ketukan di pintu setiap tengah malam, dengan suara lirih yang sama:
“Mas… bukain… aku kedinginan…”