Rumah di Ujung Jalan Sunyi – Malam itu, udara terasa lembab. Hujan baru saja reda, menyisakan bau tanah basah yang menusuk hidung. Bayu, seorang mahasiswa yang baru pindah kos, tanpa sengaja menemukan jalan pintas menuju kampus. Jalan itu sepi, hampir tak pernah dilalui orang, karena di ujungnya berdiri sebuah rumah tua yang sudah lama kosong.
Bangunannya besar, bergaya kolonial, cat dindingnya terkelupas, jendelanya pecah-pecah. Orang-orang sekitar menyebut rumah itu sebagai Rumah di Ujung Jalan Sunyi. Ada banyak cerita beredar—katanya dulu pemilik rumah beserta keluarganya ditemukan tewas misterius, dan sejak itu rumah tersebut ditinggalkan.
Bayu, yang penasaran dan merasa dirinya cukup pemberani, suatu malam memutuskan untuk melewati jalan itu. “Ah, cuma rumah kosong, masa harus takut?” pikirnya.
Namun semakin dekat ia melangkah, semakin kuat perasaan tak nyaman menyelimuti. Angin berhembus dingin, dedaunan bergemerisik tanpa arah, dan lampu jalan yang biasanya menyala, malam itu justru padam semua.
Di depan gerbang rumah tua itu, Bayu berhenti. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia merasa seperti ada yang mengintip dari balik jendela lantai dua. Ketika ia mencoba memastikan, tirai lusuh di sana tiba-tiba bergerak sendiri.
Bayu buru-buru mempercepat langkah. Namun saat melewati sisi rumah, telinganya menangkap suara samar—seperti suara perempuan menangis lirih.
“…Anak… kembalikan anakku…”
Bayu terhenti. Suara itu jelas datang dari dalam rumah. Ia menelan ludah, mencoba menepis rasa takut. Tapi rasa penasaran jauh lebih kuat. Dengan tangan gemetar, ia membuka gerbang berkarat itu.
Begitu masuk ke halaman, udara berubah semakin dingin. Daun kering bergulung-gulung tertiup angin. Pintu depan rumah terbuka perlahan, berderit panjang. Seolah-olah ada yang menunggu kehadirannya.
Bayu melangkah masuk. Bau pengap langsung menyeruak. Lantai kayu berderit setiap kali ia injak. Di ruang tamu, ada kursi goyang tua yang bergerak pelan, meski tidak ada siapa pun di sana.
Suara tangisan perempuan itu kini terdengar jelas. Dari lantai atas.
Dengan keberanian yang makin menipis, Bayu menaiki tangga. Tangga kayu itu bergetar, seakan menolak langkahnya. Sampai di lantai dua, ia melihat sebuah pintu kamar terbuka sedikit. Dari dalam kamar itulah suara tangisan terdengar.
Perlahan, Bayu mendorong pintu. Di dalam kamar yang gelap, hanya ada sebuah ranjang tua. Di atas ranjang itu duduk seorang perempuan berambut panjang, mengenakan gaun putih kusam. Bahunya terguncang karena tangisan.
Bayu ingin mundur, tapi kakinya tak bisa digerakkan. Seolah tubuhnya terkunci.
Perempuan itu berhenti menangis, lalu perlahan menoleh ke arahnya. Wajahnya pucat, matanya hitam pekat tanpa bola mata. Senyumnya lebar, terlalu lebar untuk ukuran manusia.
“Anak… kau bawa anakku, kan?” suaranya bergema, membuat telinga Bayu berdengung.
Bayu mencoba berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Perempuan itu berdiri, mendekat dengan langkah pelan. Tubuhnya bergetar aneh, seperti patah-patah. Lalu tiba-tiba ia berada tepat di depan wajah Bayu.
“Kalau kau bukan yang bawa anakku… berarti kau yang jadi penggantinya…”
Dan seketika lampu ruangan padam.
Keesokan harinya, warga menemukan gerbang rumah itu terbuka. Di dalamnya, tidak ada siapa-siapa, kecuali kursi goyang tua yang masih bergerak pelan, seperti ada yang baru saja duduk di sana.
Bayu tak pernah terlihat lagi.