Rumah Ibu Menangis: Teror Kuntilanak dan Bayi yang Tak Pernah Lahir

0 0
Read Time:3 Minute, 16 Second

Rumah Ibu Menangis – Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan lebat dan sungai berair hitam, berdiri sebuah rumah tua yang sudah lama kosong. Rumah itu terbuat dari kayu jati, atapnya miring, dan sebagian dindingnya sudah rapuh dimakan rayap. Warga desa menyebutnya “Rumah Ibu Menangis,” karena setiap malam Jumat sering terdengar suara tangisan perempuan dari arah rumah tersebut.

Tangisan itu terdengar panjang, lirih, seperti suara seseorang yang meratap penuh kesedihan. Kadang terdengar jelas di dekat jendela, kadang seperti jauh dari dalam hutan. Banyak yang percaya bahwa suara itu adalah tangisan kuntilanak, arwah perempuan yang meninggal dengan cara mengenaskan.

Konon, puluhan tahun lalu, rumah itu pernah dihuni sepasang suami istri. Sang istri sedang mengandung anak pertamanya. Namun karena cemburu buta, suami tega menyiksa istrinya hingga perempuan itu meninggal bersama bayi dalam kandungan. Malam kematian itu, warga mendengar jeritan panjang yang menembus seisi desa, lalu sunyi. Sejak hari itu, rumah itu tidak pernah lagi ditinggali.

Suatu malam, tiga pemuda desa—Damar, Ilham, dan Rizky—memutuskan untuk menantang rasa takut mereka. Mereka membawa senter, kamera ponsel, dan nekat masuk ke rumah itu demi membuktikan bahwa semua cerita kuntilanak hanya omong kosong.

Begitu melangkah ke dalam rumah, udara langsung terasa berbeda. Dingin, pengap, dan bau anyir bercampur debu memenuhi hidung mereka. Lantai kayu berderit setiap kali diinjak. Tirai yang kusam bergerak pelan meski tidak ada angin. Damar mencoba bercanda untuk mengusir ketegangan, tapi matanya tidak bisa lepas dari sebuah ayunan bayi tua yang tergantung di pojok ruang tamu. Ayunan itu bergoyang pelan, seolah ada sesuatu yang baru saja menyentuhnya.

“Jangan bercanda, Dam. Lu yang goyangin, ya?” tanya Ilham dengan suara bergetar.
“Apa gue gila? Gue nggak nyentuh apa-apa,” jawab Damar cepat.

Tiba-tiba, terdengar suara lembut dari arah kamar dalam. Suara perempuan menangis, pelan, panjang, penuh pilu. Hhhhaaa… hhhhaaa… hhhuaaa… Tangisan itu membuat bulu kuduk mereka berdiri. Rizky, yang paling penakut, langsung menggenggam tangan Ilham.

Dengan langkah ragu, mereka mendekati kamar yang pintunya setengah terbuka. Senter diarahkan ke dalam, dan mereka melihat sosok perempuan berambut panjang terurai, mengenakan gaun putih lusuh berlumuran darah di bagian perut. Ia duduk membelakangi mereka, tubuhnya berguncang pelan seiring tangisannya.

Ilham ingin berlari, tapi Damar menahan. “Tunggu… gue mau rekam,” katanya. Saat kamera diarahkan, sosok itu tiba-tiba berhenti menangis. Sunyi mendadak menyelimuti rumah. Lalu, perlahan, ia menoleh. Wajahnya pucat, matanya hitam tanpa bola, mulutnya robek lebar penuh darah, dan tangisnya berubah menjadi tawa melengking yang menusuk telinga.

“Hhiiiihhhihhhiiiiiiiii!”

Senter mereka bergetar, kamera jatuh ke lantai. Sosok itu melayang cepat mendekat, rambut panjangnya berkibar, dan bau busuk darah memenuhi ruangan. Damar berteriak dan mendorong Ilham keluar kamar. Mereka bertiga lari tunggang-langgang menuju pintu depan, tapi pintu itu tertutup rapat.

Suara tawa kuntilanak menggema, berpindah-pindah dari arah atap, jendela, hingga tepat di belakang telinga mereka. Ayunan bayi di ruang tamu bergoyang keras sendiri, dan tiba-tiba dari dalam ayunan terdengar suara bayi menangis. Tangisan itu bercampur dengan tawa melengking kuntilanak, membuat suasana semakin mencekam.

Dengan panik, Rizky mencoba membuka jendela, tapi kaca jendela pecah sendiri dari dalam, pecahannya mengenai tangannya hingga berdarah. Dari pecahan kaca itu, muncul wajah kuntilanak yang menempel, menatap mereka dengan senyum menyeramkan.

Mereka akhirnya memaksa diri menerobos pintu yang terkunci. Dengan teriakan penuh tenaga, pintu tua itu jebol, dan mereka berlari keluar rumah tanpa menoleh ke belakang. Namun suara tawa itu masih mengikuti, menggema di sepanjang jalan hingga mereka tiba di desa.

Sejak malam itu, Rizky jatuh sakit. Ia sering terbangun tengah malam karena mendengar suara tangisan di telinga. Ilham beberapa kali melihat bayangan perempuan berambut panjang berdiri di sudut kamarnya. Sementara Damar, setiap kali menyalakan ponsel, selalu menemukan rekaman baru: video pendek menampilkan wajah kuntilanak yang menatap tajam ke arah kamera, dengan suara bayi menangis di latar belakang.

Rumah tua itu hingga kini tetap berdiri, sunyi, dengan ayunan bayi yang masih tergantung di ruang tamu. Orang-orang desa semakin takut mendekatinya, karena percaya kuntilanak di sana bukan hanya menangis, tapi juga menunggu jiwa baru untuk menemaninya.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %