Cerita Horor – Di sebuah desa kecil di pinggiran hutan, ada sebuah kuburan tua yang jarang sekali didatangi orang. Kuburan itu letaknya di bawah pohon beringin besar, dengan batu nisan yang sudah berlumut, dan tanahnya sering tampak becek meski tidak hujan. Warga desa percaya, di tempat itu ada penunggu, yaitu pocong yang sering menampakkan diri kepada siapa saja yang berani melintas malam-malam.
Kisah ini bermula ketika tiga pemuda desa—Bima, Rian, dan Adi—menantang diri untuk membuktikan apakah benar pocong itu ada. Mereka sudah sering mendengar cerita dari orang-orang tua, tentang suara kain kafan bergesek di tanah, tentang tubuh melompat-lompat di balik pepohonan, dan tentang aroma busuk yang tiba-tiba muncul. Tapi mereka menertawakannya, menganggap hanya dongeng untuk menakut-nakuti anak kecil.
“Kalau memang ada pocong, biar malam ini kita buktikan!” kata Bima, yang dikenal paling nekat.
Malam itu bulan purnama, cahaya kuning pucat menyinari jalan setapak menuju kuburan. Angin dingin berhembus, membawa bau tanah basah dan daun kering. Mereka bertiga membawa senter, meski cahaya yang keluar seakan terasa redup, seperti ada yang menelan terang itu.
Ketika sampai di dekat beringin, suasana mendadak sunyi. Suara jangkrik pun lenyap. Adi, yang paling penakut, menggenggam lengan Rian.
“Kayaknya… kita pulang aja, deh,” bisiknya dengan suara bergetar.
“Ah, penakut. Kita udah sampai sini, masa mundur?” sahut Bima, mencoba terdengar berani.
Mereka duduk di atas sebuah batu nisan tua. Waktu berjalan pelan, angin makin dingin. Tiba-tiba, tercium bau anyir seperti darah bercampur bangkai. Senter Rian berkedip-kedip, lalu mati seketika.
Di kejauhan, terdengar suara duk… duk… duk… seperti sesuatu yang melompat menghantam tanah. Semakin lama, semakin dekat.
“Bima… itu apa?” suara Rian bergetar.
Bima terdiam, matanya menatap lurus ke arah kuburan.
Dari balik pepohonan, muncul sosok putih terikat kain kafan. Tubuhnya kaku, matanya kosong dengan wajah pucat penuh tanah. Pocong itu melompat-lompat mendekat, setiap kali jatuh ke tanah, terdengar suara berat, seakan tanah ikut bergetar.
Adi berteriak sekencang-kencangnya dan langsung lari terbirit-birit meninggalkan dua temannya. Rian hampir jatuh saat mencoba kabur, tapi kakinya terasa berat, seakan ada yang menahan. Ia menoleh ke belakang, dan melihat pocong itu sudah berdiri tepat di belakang Bima.
Bima tak sempat bergerak. Pocong itu mendekatkan wajahnya ke arah Bima, lalu dari dalam kain kafannya keluar suara rintihan lirih:
“…buuu…kaaa…aan… ikaaaatan…”
Wajah Bima memucat. Pocong itu tiba-tiba menggeleng keras, tubuhnya bergetar, dan kain kafan di lehernya bergerak sendiri, seperti ada tangan yang mencekik dari dalam. Senter Rian menyala kembali sekejap, cukup untuk melihat mata Bima yang kini kosong—seakan jiwanya ditarik keluar.
Rian berlari sekuat tenaga menyusul Adi, meninggalkan kuburan itu. Namun meski sudah jauh, ia masih bisa mendengar suara loncatan berat di belakangnya.
Sejak malam itu, Bima tidak pernah kembali. Warga desa hanya menemukan sandalnya di dekat kuburan, berlumuran tanah merah basah. Orang-orang percaya, Bima telah menjadi korban pocong yang meminta tolong agar ikatannya dibuka. Dan sampai hari ini, jika ada yang berani melintas di kuburan beringin itu saat bulan purnama, suara loncatan berat masih terdengar, diiringi bisikan lirih minta dibukakan ikatan…
Sejak hilangnya Bima di kuburan beringin, suasana desa berubah. Orang-orang menjadi takut keluar malam, bahkan sekadar pergi ke warung. Anak-anak dilarang bermain selepas Magrib, dan para orang tua selalu menutup pintu rapat-rapat begitu azan Isya berkumandang.
Namun, kisah mencekam tak berhenti sampai di sana.
Malam ketiga setelah Bima hilang, Rian mulai diganggu. Ia terbangun tengah malam karena mendengar suara duk… duk… duk… dari arah luar rumah. Awalnya ia mengira itu hanya angin membuat sesuatu jatuh. Tapi lama-kelamaan, suara itu seperti semakin mendekat, hingga terdengar tepat di depan jendela kamarnya.
Dengan tubuh gemetar, Rian memberanikan diri membuka tirai sedikit. Dan di situlah ia melihatnya—bayangan putih berdiri kaku, dengan kepala terikat kain kafan. Wajah pucatnya menempel di kaca jendela, menatap lurus ke arah Rian dengan mata kosong.
Rian menjerit, langsung menutup tirai dan menyelimuti tubuhnya rapat-rapat. Tapi suara duk… duk… duk… itu semakin keras, seakan ada sesuatu melompat mengelilingi rumahnya.
Keesokan paginya, Rian menceritakan kejadian itu pada Adi. Tapi Adi, meski takut, pura-pura tak percaya.
“Kamu kebanyakan mikirin Bima, Yan. Jangan-jangan cuma mimpi,” katanya.
Namun Rian yakin apa yang ia lihat nyata.
Malam berikutnya, gangguan semakin parah. Rian tidak hanya mendengar suara loncatan, tapi juga bisikan dari arah jendela. Suara itu lirih, serak, namun jelas:
“…bukaaaan… ikaaat…aaaan…”
Pocong itu ingin dibukakan ikatannya.
Rian mulai tidak bisa tidur. Matanya cekung, wajahnya pucat. Ibunya sampai heran, tapi ia tak berani menceritakan semuanya. Hingga pada malam keempat, sesuatu terjadi.
Saat seisi rumah tertidur, pintu depan rumah Rian berderit terbuka sendiri. Angin dingin berhembus masuk. Rian yang terbaring di kasur mendengar suara langkah berat mendekati kamarnya. Ia memberanikan diri mengintip lewat celah pintu, dan hampir pingsan melihat sosok pocong itu sudah ada di ruang tamu.
Tubuhnya membungkuk kaku, kain kafan kusam meneteskan tanah basah ke lantai. Pocong itu berjalan bukan dengan melompat, melainkan menyeret tubuhnya perlahan, seakan-akan tali ikatannya menahan gerakannya.
“…bukaaaan… ikaaat…aaaan…”
Suara itu menggema memenuhi ruangan.
Rian ketakutan, berteriak sekencang-kencangnya hingga membangunkan seluruh anggota keluarga. Tapi ketika orang tuanya datang, sosok itu sudah menghilang.
Yang tersisa hanyalah tanah merah basah yang tercecer di lantai rumah mereka.
Setelah malam mencekam itu, kabar tentang pocong yang masuk ke rumah Rian tersebar cepat. Banyak warga yang semakin yakin kalau pocong di kuburan beringin bukan sekadar arwah penasaran biasa. Ia membawa kutukan bagi siapa pun yang berani mengusiknya.
Rian semakin tertekan. Hampir setiap malam ia mendengar suara loncatan dan bisikan yang sama:
“…bukaaaan… ikaaat…aaaan…”
Sementara itu, Adi yang sebelumnya menolak percaya, mulai ikut diganggu. Suatu malam ia terbangun karena mendengar suara ketukan keras di pintu rumahnya. Saat ia membuka pintu, tidak ada siapa pun. Tapi tanah merah basah tercecer di terasnya, seperti bekas loncatan sesuatu.
Beberapa hari kemudian, Rian jatuh sakit. Tubuhnya panas tinggi, wajahnya pucat, dan matanya seperti kosong. Ia sering mengigau sambil mengucapkan kata-kata yang sama dengan bisikan pocong itu. Adi, yang merasa bersalah karena sudah meninggalkan Bima malam itu, akhirnya bertekad mencari jawaban.
Adi mendatangi Mbah Karto, seorang kakek tua yang dianggap orang pintar di desa. Ia menceritakan semuanya: hilangnya Bima, gangguan yang menimpa Rian, hingga teror yang ia alami sendiri.
Mbah Karto terdiam lama, lalu berkata pelan,
“Pocong itu bukan arwah biasa. Ia mati tidak wajar… ikatannya tidak pernah dibuka. Itu sebabnya ia marah, dan siapa pun yang datang mengganggunya akan dituntut untuk menggantikan.”
Adi terperanjat.
“Lalu… apa Bima sekarang sudah jadi gantinya?”
Mbah Karto mengangguk pelan. “Arwahnya terjebak. Dan kalau kalian tidak segera melakukan sesuatu, kamu dan Rian bisa bernasib sama.”
Satu-satunya cara, menurut Mbah Karto, adalah kembali ke kuburan beringin saat malam, dan membuka ikatan kain kafan pocong itu. Namun, itu berisiko besar—karena pocong akan menampakkan wujud aslinya.
Malam itu, Adi memberanikan diri membawa Rian yang masih lemah ke kuburan beringin, ditemani Mbah Karto. Udara malam terasa sangat berat, bulan purnama bersinar pucat, dan suara burung hantu menggema dari kejauhan.
Mereka menyiapkan doa-doa dan dupa, sementara Mbah Karto menggambar lingkaran pelindung di tanah. Tepat tengah malam, tanah di bawah beringin bergetar. Dari balik nisan tua, pocong itu muncul, melompat-lompat dengan suara berat.
Rian menjerit histeris, tubuhnya kejang-kejang, seakan arwahnya ditarik keluar. Pocong itu mendekat, wajah pucatnya menatap lurus ke arah Adi. Bau busuk semakin menyengat.
“…bukaaaaan… ikaaaat…aaaan…”
Adi gemetar, tapi teringat ucapan Mbah Karto. Ia harus membuka ikatan pocong itu. Dengan tangan gemetar, ia mendekat. Pocong itu bergetar keras, seakan menolak, matanya kosong tapi penuh penderitaan.
Dengan sisa keberanian, Adi meraih kain kafan di bagian kepala pocong dan menarik ikatan yang menjerat. Saat simpul terbuka, terdengar suara jeritan panjang menggema di seluruh kuburan. Tubuh pocong itu runtuh perlahan, lalu lenyap menjadi debu.
Rian tersungkur, tubuhnya berhenti kejang. Saat ia sadar kembali, matanya tidak lagi kosong, dan panas tubuhnya menghilang. Kutukan itu akhirnya terlepas.
Namun, Bima tidak pernah kembali. Hanya sekali, seminggu setelah ritual itu, Adi bermimpi bertemu Bima. Dalam mimpi itu, Bima tersenyum tenang, lalu berbisik lirih:
“Terima kasih… aku sudah bebas.”
Sejak saat itu, kuburan beringin tidak lagi angker seperti dulu. Warga berani melewatinya, dan gangguan pocong tak pernah terdengar lagi. Tapi Adi dan Rian tahu, malam-malam mereka akan selalu dihantui rasa bersalah—karena jika saja mereka tidak menantang arwah itu, mungkin Bima masih hidup.
Di hatinya, Adi selalu teringat satu hal: pocong bukan sekadar hantu, melainkan jiwa yang terikat. Dan selama ikatannya tak dilepaskan, ia akan mencari pengganti…