Rumah di Ujung Jalan Lembayung

0 0
Read Time:3 Minute, 54 Second

Rumah di Ujung Jalan Lembayung – 1. Kedatangan di Tengah Hujan

Hujan deras mengguyur Desa Sukamendung sejak sore. Jalan Lembayung yang sempit diselimuti kabut, hanya diterangi lampu jalan yang redup. Di ujung jalan itu berdiri sebuah rumah tua berarsitektur kolonial, kusam dan sunyi. Warga desa menyebutnya “rumah tangisan”.

Konon, setiap malam Jumat, terdengar suara anak kecil menangis dari dalamnya.

Raka, seorang jurnalis muda dari Jakarta, datang untuk membuktikan kebenaran kisah itu. Ia menulis untuk rubrik Urban Legend di majalah daring terkenal. “Aku cuma mau menulis fakta, bukan takhayul,” katanya pada penjaga warung sebelum berangkat.

Sang penjaga hanya menjawab datar, “Kalau kau dengar tangisan, jangan jawab, Nak. Itu bukan manusia.”

Raka tersenyum, menepis rasa takut yang samar muncul.


2. Pintu yang Membuka Sendiri

Pukul enam lewat tiga puluh, Raka tiba di depan rumah itu. Pagar besi tua berkarat, hampir roboh. Begitu disentuh, bunyi kriiit panjang memecah keheningan. Bau lembap dan karat memenuhi udara, bercampur sesuatu yang amis seperti darah basi.

Ia menyalakan senter dan melangkah masuk.

Pintu utama terbuka sendiri sebelum ia sempat menyentuhnya. Engsel berderit keras. Ruang tamu gelap dan berdebu. Di dinding tergantung foto keluarga lama: ayah, ibu, dan seorang anak perempuan bergaun putih. Senyum mereka membeku, seolah menatap balik dengan tatapan dingin.

Raka menghidupkan perekam suara. “Rumah di Ujung Jalan Lembayung,” katanya lirih. “Konon, terbakar dua puluh tahun lalu. Penghuninya: sepasang suami istri dan anak kecil yang tak pernah ditemukan jasadnya.”


3. Ketukan dari Lantai Atas

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pelan dari atas. Tok… tok… tok…
Raka mendongak. “Ada orang di atas?” Ia menunggu, tapi tak ada jawaban.

Dengan langkah hati-hati ia menaiki tangga kayu. Udara makin dingin. Lampu senter bergetar, dan bayangan di dinding tampak bergerak sendiri.

Di ujung lorong ada sebuah kamar dengan pintu setengah terbuka. Dari celahnya, terlihat sebuah boneka duduk di kursi kecil. Boneka itu bergaun putih lusuh, satu matanya retak, dan di bawah kakinya tertulis dengan kapur:
“JANGAN BANGUNKAN AKU.”

Raka menelan ludah, melangkah masuk. Begitu ia mengangkat senter, lampu berkedip lalu mati.

Dalam gelap total, ia mendengar napas berat di dekat telinganya — panas dan lembap.


4. Boneka yang Hidup

Cahaya senter kembali menyala. Boneka itu kini menghadap ke arahnya, dengan kepala sedikit miring dan senyum retak. Raka mundur pelan. Lalu terdengar suara langkah kecil di belakangnya.

Ia menoleh — tak ada siapa-siapa.
Namun saat menatap boneka itu lagi, kursinya kosong.

Sebuah bisikan lembut terdengar:

“Kau sudah datang… Ayah.”

Raka menjerit, menjatuhkan perekamnya. Ia memungutnya lagi, tapi perekam itu menyala sendiri, merekam suara anak kecil yang berkata:

“Aku masih di sini. Aku tidak mau sendirian.”

Pintu kamar tiba-tiba menutup BRUK! keras sekali. Suara tawa kecil menggema, berputar di seluruh ruangan.


5. Api dari Masa Lalu

Raka berlari menuruni tangga, tapi rumah itu berubah. Lantai terasa panas, dinding menghitam, udara berbau gosong. Api menjalar dari arah dapur. Ia tersengal, batuk karena asap.

Di antara kobaran api, ia melihat bayangan seorang wanita berlari sambil menggendong anak kecil. Gaun anak itu putih, sebagian terbakar. Wajahnya sama dengan boneka di kamar tadi.

Wanita itu berteriak, “Tolong! Tolong anakku!”

Raka berusaha mendekat, tapi setiap langkahnya membuat api semakin dekat. Ia menutup wajah, lalu semuanya gelap.


6. Suara dari Perekam

Ketika sadar, Raka sudah terbaring di lantai ruang tamu. Tak ada api, tak ada asap. Semua kembali seperti semula—sunyi dan berdebu.

Ia menatap perekam suaranya yang masih menyala. Waktu di layar menunjukkan pukul 02.13 dini hari. Ia menekan tombol play.

Suara serak keluar dari speaker:

“Kau tidak boleh pergi… Dia belum selesai bermain.”

Raka menatap sekeliling. Sesuatu berlari melintas di belakangnya, bayangan kecil bergaun putih. Ia menjerit dan berlari ke arah pintu utama, membuka paksa dan keluar ke halaman. Saat menyeberangi pagar, ia menoleh ke belakang.

Rumah itu tampak utuh, tidak terbakar. Tapi di jendela atas, sosok anak kecil itu berdiri dan melambai.


7. Hilangnya Sang Jurnalis

Keesokan harinya, warga desa menemukan mobil Raka terparkir di depan rumah. Lampu mobil masih menyala, pintu terbuka. Namun Raka menghilang tanpa jejak.

Beberapa hari kemudian, seorang warga menemukan perekam suara di rumput depan rumah. Saat diputar, hanya terdengar suara tawa anak kecil dan bisikan pelan:

“Sekarang giliranmu menulis ceritaku…”

Sejak saat itu, rumah di Jalan Lembayung kembali ditinggalkan. Tapi setiap malam Jumat, warga mengaku mendengar suara senter menyala dari dalam rumah, disertai tawa anak kecil yang menggema panjang di antara kabut.


8. Catatan Akhir: Misteri Tak Pernah Mati

Konon, jika seseorang berani memutar rekaman itu di malam hari, suaranya akan berubah menjadi suara mereka sendiri—tertawa, menangis, lalu berhenti mendadak.

Sampai hari ini, tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Raka. Tapi satu hal pasti: rumah di ujung Jalan Lembayung kini tidak hanya menyimpan arwah masa lalu… melainkan juga jiwa baru yang terjebak di dalamnya.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %