Rumah di Ujung Jalan Mawar

0 0
Read Time:4 Minute, 17 Second

Rumah di Ujung Jalan Mawar – Hujan deras mengguyur gang sempit di pinggiran kota. Jalan Mawar yang biasanya sunyi kini tampak seperti lorong kabut tanpa ujung. Di ujung jalan itu berdiri sebuah rumah tua dengan cat yang mengelupas, jendela tertutup papan, dan pagar berkarat yang hampir roboh.

Bagi sebagian orang, rumah itu hanyalah bangunan tak terawat. Namun bagi warga sekitar, rumah tersebut menyimpan kisah kelam: tragedi Keluarga Sumarni yang hilang secara misterius dua puluh tahun lalu. Tak ada yang tahu pasti apa yang terjadi, hanya tersisa desas-desus dan rasa takut.

Rian, seorang jurnalis muda yang gemar memburu kisah mistis, memutuskan untuk datang malam itu. Ia ingin menulis liputan eksklusif sebelum rumah itu dibongkar. “Kesempatan langka,” pikirnya sambil menyalakan senter dan merekam suasana hujan.

Menyusuri Rumah Tua

Begitu pagar berdecit terbuka, aroma karat dan lembap menyeruak. Rian menelan ludah dan melangkah masuk ke halaman. Ia menyorotkan senter ke arah jendela, dan sekilas melihat bayangan bergerak di balik tirai sobek. “Mungkin pantulan cahaya,” gumamnya, meski bulu kuduknya berdiri.

Di dalam rumah, udara terasa berat. Lantai kayu berderit di setiap langkahnya, debu tebal menutupi perabotan, dan di meja tua terdapat bingkai foto keluarga. Ia membersihkan kaca itu perlahan. Terlihat wajah suami, istri, dan dua anak perempuan kecil—semuanya tersenyum. Namun di bagian kaca, ada goresan kuku dalam bentuk garis melintang di wajah sang ayah.

Suara ketukan tiba-tiba terdengar dari lantai atas. Tok… tok… tok…
Rian menoleh ke arah tangga dengan senter di tangan. Tidak ada siapa pun. Tapi langkah kaki terdengar perlahan turun. Ia menahan napas, lalu mencoba berteriak, “Siapa di sana?”
Tak ada jawaban—hanya desiran angin yang menggerakkan pintu setengah terbuka.

Pesan di Kamar Anak

Dengan hati-hati, Rian menaiki tangga kayu yang mulai lapuk. Di lantai dua, ia menemukan lorong panjang dengan tiga pintu kamar. Salah satu pintu sedikit terbuka, mengeluarkan bau busuk seperti bangkai. Ia menyorotkan cahaya ke dalam.

Sebuah ranjang kecil terlihat di sudut ruangan. Di atasnya duduk boneka dengan gaun putih, wajahnya gosong seperti terbakar. Di dinding belakangnya tertulis pesan dengan tinta merah kering:
“JANGAN BANGUNKAN IBU.”

Belum sempat Rian berpikir, boneka itu jatuh ke lantai dengan suara keras. Ia tersentak mundur, menyorot senter lagi—boneka itu kini berada di dekat kakinya. Padahal jelas-jelas tadi jatuh di tengah ruangan. “Sial…” gumamnya sambil mundur perlahan. Ia keluar dari kamar itu dan menutup pintu cepat-cepat.

Sosok di Ujung Lorong

Dari arah ujung koridor terdengar suara perempuan menangis lirih. “Tolong aku…”
Rian mengikuti suara itu hingga ke kamar terakhir. Ketika pintu dibuka, ia melihat sosok perempuan duduk membelakangi jendela. Rambutnya panjang terurai, gaunnya compang-camping, dan darah menetes dari ujung jemarinya.

“Bu… Bu Sumarni?” tanya Rian dengan suara gemetar.
Perempuan itu tak menjawab. Ia hanya memiringkan kepala perlahan dan berkata dengan suara serak, “Kau membangunkanku…”

Pintu kamar menutup keras di belakang Rian. Lampu senter padam. Suara langkah kaki dan napas berat terdengar mendekat. Sesuatu menyentuh bahunya—dingin seperti es. Dalam kilatan petir dari luar, wajah perempuan itu terlihat jelas: tak bermata, hanya rongga hitam dengan darah menetes. Rian menjerit dan berlari ke arah pintu, tapi terkunci rapat.

Dari luar kamar terdengar tawa anak kecil. “Main, Kak Rian… ayo main…”
Pintu akhirnya terbuka, dan Rian berlari menuruni tangga sekuat tenaga. Namun anehnya, tangga itu seperti tidak berujung. Ia terus berlari, tapi tidak pernah sampai ke bawah.

Empat Bayangan di Tangga

Dalam kepanikan, Rian menoleh ke belakang. Di ujung tangga berdiri empat sosok: seorang perempuan dan tiga anak kecil. Mereka menatapnya dengan mata hitam kosong.
“Kenapa kau datang ke rumah kami?” suara perempuan itu menggema dari segala arah.
Rian ingin menjawab, tapi mulutnya terkunci. “Kami tidak suka diganggu…” lanjut suara itu.

Dalam sekejap, semuanya lenyap. Rian terjatuh dan membuka matanya di ruang tamu. Bingkai foto keluarga tadi kini berubah—semua wajah dalam foto menatap langsung ke arahnya, dengan mata hitam pekat dan senyum kaku.

Ia berlari keluar rumah tanpa menoleh ke belakang, menembus hujan yang semakin deras.

Jalan yang Berbeda

Begitu keluar dari pagar, Rian menyadari sesuatu yang janggal. Jalan Mawar kini tidak lagi seperti sebelumnya. Tak ada rumah lain, tak ada lampu jalan, hanya kabut pekat dan tanah berlumpur. Di kejauhan terdengar tangisan bayi. Ia menoleh ke belakang—rumah itu telah hilang.

Di tempatnya kini berdiri papan kayu tua bertuliskan:
“Tanah Ini Telah Dikosongkan Sejak 2003.”

Rian terpaku. Ia mencoba merekam dengan ponselnya, tapi layar hanya menampilkan wajah samar-samar di balik bayangan. Wajah itu tersenyum… dan itu adalah wajahnya sendiri.

Akhir yang Tak Pernah Jelas

Keesokan paginya, warga menemukan mobil Rian terparkir di depan lahan kosong di ujung jalan. Pintu mobil terbuka, lampu hazard masih menyala, tapi Rian tak ada di mana-mana.

Di kursi depan, ponselnya masih merekam. Suara terakhir yang terdengar adalah gumam lirih:
“Aku sudah di dalam rumah… ada seseorang di sini…”
Setelah itu hanya ada suara langkah kaki, lalu tawa anak kecil yang perlahan menghilang.

Sejak malam itu, warga sekitar sering mendengar ketukan pelan dari arah lahan kosong itu setiap kali hujan turun. Kadang, mereka juga melihat cahaya kecil seperti senter yang bergerak perlahan di balik kabut—namun tak pernah mendekat.

Dan mereka tahu, siapa pun yang mencoba menelusuri tempat itu… tak akan kembali dengan cara yang sama.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %