Desa yang Hilang dalam Kabut – Hujan rintik turun tanpa henti sejak sore itu. Raka, seorang fotografer lepas, memutuskan untuk berkendara menuju sebuah desa terpencil yang konon memiliki pemandangan indah. Namun, desa itu juga terkenal dengan berbagai cerita mistis yang sudah lama beredar. Menurut cerita warga sekitar, desa tersebut sering tertutup kabut tebal setiap malam, dan siapa pun yang masuk saat kabut turun jarang kembali dengan selamat.
Raka tidak percaya takhayul. Ia hanya ingin mencari foto yang unik untuk majalah perjalanan yang ia kelola. Dengan kamera tergantung di leher, ia memacu mobilnya menembus hutan yang mulai gelap.
Saat ia melihat papan kayu tua bertuliskan “Selamat Datang di Desa Kramatjati”, tiba-tiba kabut turun begitu pekat, membuat pandangannya hanya sejauh satu meter.
Bab 1: Tanda-Tanda Aneh
Raka memarkir mobilnya di dekat rumah tua yang tampak tak berpenghuni. Ia mengetuk pintu beberapa kali, tetapi tak ada jawaban. Saat ia berbalik, suara pintu berderit terdengar. Di dalam, rumah itu penuh debu, namun ada jejak kaki basah menuju tangga ke lantai dua.
Raka memutuskan untuk memotret, tapi ketika ia melihat layar kameranya, jantungnya berdegup kencang.
Pada foto yang baru saja diambil, tampak seorang wanita berambut panjang berdiri di sudut ruangan, meski saat itu ia tidak melihat siapa pun.
Ia menelan ludah, lalu terdengar suara lirih dari arah tangga:
“Kamu… sudah datang…”
Raka memalingkan kepala, tetapi tidak melihat siapa-siapa. Bau anyir tercium, seperti bau darah yang lama mengering. Ia bergegas keluar rumah, tetapi kabut semakin tebal, seolah menutup semua jalan keluar.
Bab 2: Warga yang Aneh
Dalam usahanya mencari petunjuk, Raka akhirnya menemukan beberapa rumah dengan lampu redup. Di sana, ia bertemu seorang pria tua bernama Pak Sarto. Wajahnya pucat, matanya cekung, dan suaranya bergetar.
Pak Sarto memperingatkannya,
“Nak, kau harus pergi sebelum tengah malam. Saat lonceng tua di balai desa berbunyi, mereka akan keluar untuk mencari teman.”
Raka bertanya siapa “mereka” yang dimaksud, tetapi Pak Sarto hanya menggeleng dan memintanya untuk tidak terlalu banyak bertanya.
Ketika Raka hendak kembali ke mobil, ia memperhatikan sesuatu yang aneh: tak ada suara serangga, tak ada angin, hanya keheningan total. Saat ia menoleh ke rumah Pak Sarto, lampu di dalam rumah itu padam mendadak, dan ketika dinyalakan kembali, rumah itu sudah kosong. Tidak ada jejak kehidupan, hanya perabot berdebu dan foto lama yang memperlihatkan keluarga Pak Sarto… lengkap dengan wajah Pak Sarto yang tampak lebih muda lima puluh tahun lalu.
Bab 3: Lonceng Tengah Malam
Jam tangannya menunjukkan pukul 11:57 malam. Kabut semakin tebal, dan dari kejauhan, Raka mendengar suara lonceng tua berdentang. Dentingan pertama membuat bulu kuduknya meremang. Saat dentingan kedua terdengar, suara langkah kaki mulai muncul dari segala arah.
Dari balik kabut, bayangan manusia mulai terlihat. Namun ketika mereka semakin dekat, Raka sadar bahwa itu bukan manusia. Wajah mereka pucat, mata kosong, dan tubuh mereka bergerak seperti boneka yang ditarik paksa.
Seorang wanita berpakaian putih muncul di depan Raka. Wajahnya penuh luka, dan matanya hitam pekat. Ia tersenyum samar dan berkata,
“Kamu… yang baru di sini… ikutlah bersama kami…”
Raka mundur perlahan, tetapi di setiap arah ia melihat makhluk yang sama mendekat. Ia mengambil kamera dan memotret dengan kilat, berharap bisa mengusir mereka. Namun, saat cahaya kilat memantul, ia melihat sesuatu yang lebih mengerikan: dirinya sendiri, berdiri di tengah para makhluk itu, wajahnya pucat seperti mereka.
Bab 4: Balai Desa
Putus asa, Raka berlari menuju balai desa, sumber suara lonceng itu. Di dalam, ia menemukan lonceng tua berkarat dan sebuah buku besar yang tertutup debu tebal. Saat ia membuka buku itu, halaman-halamannya dipenuhi foto orang-orang yang pernah hilang di desa ini.
Dengan tangan gemetar, ia membalik halaman demi halaman… hingga menemukan fotonya sendiri, diambil beberapa jam yang lalu, mengenakan pakaian yang sama persis.
Dari belakang, suara lirih terdengar, kali ini sangat dekat:
“Kau sudah menjadi bagian dari desa ini…”
Raka berbalik, tetapi yang dilihatnya adalah puluhan tangan pucat yang meraih dirinya. Kamera terjatuh ke lantai, memotret untuk terakhir kalinya: foto kabur dari Raka yang diseret ke dalam kegelapan.
Epilog
Beberapa hari kemudian, seorang pengelana lain menemukan kamera Raka di tepi hutan. Saat ia melihat foto terakhir di dalam kamera, ia melihat sekumpulan wajah pucat menatap ke arahnya.
Di barisan paling depan, Raka berdiri dengan senyum yang tak wajar, matanya hitam pekat, seperti milik makhluk-makhluk lain di Desa Kramatjati.
Sejak hari itu, tidak ada yang berani memasuki desa itu lagi… tetapi kadang-kadang, di malam berkabut, dentingan lonceng tua masih terdengar samar-samar, seolah memanggil korban baru.